Selasa, 15 November 2011

Peserta Mengapresiasi BNP2TKI Atas Penyelenggaraan "Roundtable Dialogue"

Tuesday, 15 November 2011 17:31
Direktur Eksekutif Pusat Bantuan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (PBHTKI) Bernard Nababan yang juga Ketua Umum Serikat Buruh Migran Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (SBM GASBIINDO) menilai acara itu bermanfaat untuk menyosialisasikan apa yang akan dan telah dilakukan oleh BNP2TKI dan belajar bersama tentang apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah TKI.
Direktur Eksekutif Pusat Bantuan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (PBHTKI) Benhard Nababan yang juga Ketua Umum Serikat Buruh Migran Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (SBM GASBIINDO) menilai acara itu bermanfaat untuk mensosialisasikan apa yang akan dan telah dilakukan oleh BNP2TKI dan belajar bersama tentang apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah TKI.
Ciloto, BNP2TKI (15/11) - Peserta dari ormas, LSM, dan media massa mengapresiasi BNP2TKI atas penyelenggaraan Sosialisasi Kelembagaan BNP2TKI Dalam Penanganan TKI Melalui Kegiatan "Roundtable Dialogue" 2011 bertema "Kita Semua Peduli TKI" di Ciloto, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin - Selasa (14-15/11).

“Setahu saya, acara ini merupakan satu-satunya yang dilaksanakan oleh badan pemerintah yang meminta masukan dari masyarakat untuk program badan di tahun 2012,” kata Al Hafidz Rana dari DPP Orang Indonesia.

Acara itu, katanya, sangat positif dalam menumbuhkan pemahaman atas upaya BNP2TKI dalam menangani TKI. Ia mengaku akan mensosialisasikan hasil dari acara itu kepada anggotanya.

Dhenok dari Komisi Keadilan, Perdamaian dan Migran-Perantau Konferensi Wali Gereja Indonesia (KKP-PMK KWI) mengapresiasi upaya BNP2TKI mengajak masyarakat untuk peduli terhadap masalah TKI.

Menurut dia, hal terpenting adalah menindaklanjuti rumusan dan rekomendasi yang dihasilkan dari acara itu.

Adi, wartawan dari TVOne minta BNP2TKI tidak terjebak pada wacana untuk memperbaiki pelayanan penempatan dan perlindungan TKI melainkan harus benar-benar terasa kehadiran BNP2TKI bagi masyarakat.

Eka Permadi, wartawan portal berita vivanews.com menambahkan dari sosialisasi itu semestinya tidak ada lagi istilah masyarakat yang tidak memahami regulasi tentang TKI.

Direktur Eksekutif Pusat Bantuan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (PBHTKI) Benhard Nababan yang juga Ketua Umum Serikat Buruh Migran Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (SBM GASBIINDO) menilai acara itu bermanfaat untuk mensosialisasikan apa yang akan dan telah dilakukan oleh BNP2TKI dan belajar bersama tentang apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah TKI. (dra/b)

Sumber: BNP2TKI
Url: http://bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/5776-peserta-mengapresiasi-bnp2tki-atas-penyelenggaraan-qroundtable-dialogueq.html

Rabu, 13 Juli 2011

BNP2TKI Dorong Penempatan ABK sesuai Prosedur UU

Thursday, 30 June 2011 19:12
Merujuk pada Pasal 10 dan Pasal 28 Undang Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, ABK itu termasuk TKI yang harus ditempatkan oleh Pemerintah (BNP2TKI, red.) atau PPTKIS. Demikian disampaikan Kepala BNP2TKI, Moh Jumhur Hiadayat, dalam forum RDP dengan Komisi IX DPR RI -- yang secara khusus membahas “Hak-hak Normatif Anak Buah Kapal (ABK) PT Surya Mitra Bahari”, di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Kamis (30/06).
Jakarta, BNP2TKI (30/06) – Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) berharap penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) melalui prosedur Undang Undang yang berlaku.

Merujuk pada Pasal 10 dan Pasal 28 Undang Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, ABK itu termasuk TKI yang harus ditempatkan oleh Pemerintah (BNP2TKI, red.) atau Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS). 

Demikian disampaikan Kepala BNP2TKI, Moh Jumhur Hiadayat, dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR RI -- yang secara khusus membahas “Hak-hak Normatif Anak Buah Kapal (ABK) PT Surya Mitra Bahari”, di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Kamis (30/06).

“Sejauh ini penempatan ABK belum dilakukan PPTKIS dan (juga) belum difasilitasi oleh BNP2TKI. Pelibatan BNP2TKI baru sebatas pada pemberian Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) – sesuai PER KA BNP2TKI Nomor: Per.13/KA/VIII/2009 tentang Pendataan Pelaksana Penempatan Pelaut Indonesia di Luar Negeri -- yang intinya, agar setiap pelaut memiliki KTKLN,” tegas Jumhur di depan forum RDP Komisi IX DPR RI yang menghadirkan pejabat dari Kemenakertrans, BNP2TKI, dan Kemenlu, serta Direktur PT Surya Mitra Bahari (SMB) dan sembilan ABK itu.

Jumhur menambahkan, selama ini penempatan pelaut (ABK) banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan non-PPTKIS. 

Permasalahan penempatan ABK ini, lanjut Jumhur, sudah seharusnya dilakukan sesuai prosedur UU yang berlaku. Dalam hal ini yang perlu segera dilakukan Kemenakertrans -- selaku pengambil kebijakan di bidang ketenakerjaan – lanjut Jumhur, seyogyanya segera menyusun mekanisme mengenai penempatan ABK ini. Berikut, mendorong penempatan ABK oleh PPTKIS. Memberikan peran/kewenangan kepada BNP2TKI untuk memfasilitasi penempatan ABK. Selain itu, perlu melakukan koordinasi dengan Menteri Perhubungan dan Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) untuk mendata jumlah ABK yang ada di luar negeri (bekerja di kapal-kapal asing). 

Dijelaskan Jumhur, terkait dengan permasalahan yang dihadapi TKI bidang ABK ini, langkah-langkah yang sudah dilakukan BNP2TKI adalah, pada 25 Agustus 2009 lalu, telah diterbitkan PER KA BNP2TKI Nomor: 13/KA/VIII/2009 tentang Pendataan Pelaksana Penempatan Pelaut Indonesia di Luar Negeri -- yang intinya, agar setiap pelaut memiliki KTKLN.

Hingga sekarang sudah ada 10 Perusahaan yang menggunakan KTKLN itu, di antaranya: (1) PT Jangkar Anugerah Sejahtera, (2) PT Bali Guna Inti Nusa, (3) PT Nordstar, (4) PT Bali Tritunggal Perkasa, (5) PT Dinda Bahari Makmur, (6) PT Sekai Hikari Indonesia, (7) PT Abdi Kita Segara, (8) PT Mitra Samudra Cakti, (9) PT Kimco Citra Mandiri, dan (10) PT Kusuma Bahari Jaya.

Terkait dengan kasus yang dialami sembilan ABK PT Surya Mitra Bahari ini, BNP2TKI pada 11 Mei lalu, telah menerima pengaduan dari Oktiansyah (salah satu ABK PT Surya Mitra Bahari dari Kebumen, Jawa Tengah).Ia mengadu kalau PT Surya Mitra Bahari belum memberikan uang gaji haknya.

Para ABK itu, tutur Oktiansyah, baru dibayar enam bulan upah sebesar Rp 12 juta, namun setelah dipotong oleh manajemen PT Surya Mitra Bahari, masing-masing ABK hanya membawa pulang uang sebesar Rp 4 juta.

“Kami meminta agar gaji selama 12 bulan berada di dalam tahanan perompak Somalia dibayarkan oleh PT Surya Mitra Bahari,” kata Oktiansyah mewakili rekan-rekannya.

Pengaduan Oktiansyah ini juga disampaikan ulang didalam forum RDP Komisi IX DPR RI, Kamis siang itu. Ia ungkapkan, dirinya bersama rekan-rekan senasib direkrut oleh PT Surya Mitra Bahari untuk dipekerjakan pada Kapal Sinar Kudus.

Pada pertengahan September 2009, kapal beroperasi di Thailand. Kemudian 27 Februari 2010, kapal beroperasi mencari ikan di kawasan laut Sri Langka. Sebulan kemudian, pada tanggal 28 Maret 2010, Kapal Sinar Kudus dibajak oleh perompak Somalia.

“Selama 12 bulan dalam tawanan perompak Somalia itu dirinya bersama rekan-rekannya disekap dalam kamar berukuran 3 x 6 meter persegi, sehari diberi makan sekali, kerapkali ditakut-takuti dengan ditodong moncong bedil, dan kerapkali pula dijadikan sebagai ‘tameng hidup’ pada saat perompak Somalia melakukan aksinya. Setelah bisa mengontak pihak KBRI di Nairobi selama dua kali juga tidak ditanggapi secara serius, bahkan oleh oknum pejabat KBRI tersebut diminta untuk tidak menyebutkan kalau berhasil mengontak pejabat KBRI Nairobi, tetapi diminta untuk mengatakan dari rekan bisnisnya,” papar Oktiansyah.

Menanggapi kasus yang dialami sembilan ABK PT Surya Mitra Bahari ini, RDP Komisi IX DPR RI menghasilkan rekomendasi sebagai berikut:

Pertama, Komisi IX DPR-RI meminta Kemenakertrans RI, BNP2TKI, dan Kemenlu RI melakukan mediasi dengan PT. Surya Mitra Bahari dan para ABK PT Surya Mitra Bahari, untuk segera menyelesaikan persoalan tuntutan dalam hal pembayaran gaji selama 12 bulan bekerja di atas kapal dengan batas waktu mediasi sampai tanggal 7 Juli 2011. 

Kedua, Komisi IX DPR-RI mendesak Kemenlu RI dan Kemenakertrans RI untuk mengontrol keberadaan perusahaan/agen penyalur ABK termasuk kelengkapan dokumen ijin perusahaan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan wewenang ijin kerja, sebagaimana yang terjadi pada pihak Agency JIA FENG YI Co LTD Taiwan dan PT. Surya Mitra Bahari. 

Ketiga, Komisi IX DPR-RI mendorong pihak terkait, dalam hal ini Kemenlu dan Kemenakertrans untuk melakukan pengawasan secara aktif dan memberikan perlindungan yang maksimal terhadap para TKI khususnya ABK di luar negeri yang sedang mengalami masalah ketenagakerjaan, sehingga ada jaminan keselamatan dan terpenuhinya hak-hak para ABK.***(Imam Bukhori) 

Sumber : BNP2TKI
URL : http://bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/4813-bnp2tki-dorong-penempatan-abk-sesuai-prosedur-uu.html

Jumat, 01 Juli 2011

Pemerintah Diminta Perhatikan Nasib ABK

Ditulis oleh Susi Prastiwi/ Era Baru News Kamis, 30 Juni 2011

Jakarta - Komisi IX DPR meminta dilakukan mediasi antara Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) RI, BPNP2TKI, Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) RI dengan PT Surya Mitra Bahari beserta anak buah kapal (ABK) nya. Mediasi dilakukan untuk menyelesaikan tuntutan pembayaran gaji selama 12 bulan bekerja sewaktu kapal dibajak perompak Somalia. Batas waktu mediasi sampai tanggal 7 juli 2011.

Demikian kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IX DPR RI dengan Kepala BNP2TKI, Konsuler Kemenlu RI dan Dirut PT Surya Mitra Bahari serta ABK yang berlangsung di Ruang Sidang komisi IX Gedung DPR, Jakarta, Kamis (30/6).

Selain itu, Komisi IX DPR juga mendesak Kemenlu dan Kemenakertrans untuk mengontrol keberadaan perusahaan/agen penyalur ABK termasuk kelengkapan dokumen ijin perusahaan, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang ijin kerja, seperti yang terjadi pada pihak agency Jia Feng YI Co, Ltd Taiwan dengan PT Suya Mitra Bahari.

Kemenlu dan Kemenakertrans juga diminta melakukan pengawasan secara aktif dan memberikan perlindungan yanhg maksinal terhadap TKI khususnya ABK di luar negeri yang mengalami masalah ketenagakerjaan. Tujuannya agar terjaminnya dan terpenuhinya keselamatan hak-hak ketenagakerjaan  dan hak para ABK.

Nasib Pilu ABK

Nasib buruk dialami sepuluh ABK Indonesia korban perompak Somalia. Setelah lolos dari para pembajak berkat bantuan kapal perang Amerika, mereka tidak diberi gaji  selama setahun bekerja di sebuah perusahaan berbendera China. Kesepuluh ABK itu antara lain adalah: Edi Supriyanto (28), Yasno (30), Octiansah (34),  Saparudin (23), Amier Hidayat (37), Slamet Riyadi (29), Japar (27), Agretas Bertolomeos (37), dan Ahmad Yani (31).

Sejauh ini PT Surya Mitra Bahari selaku perusahaan yang merekrut mereka hanya bisa membayar enam bulan upah sebesar Rp 12 juta, itupun dipotong utang sehingga mereka hanya menerima Rp 4 juta. Sisanya dijanjikan akan dibayar PT SBM kalau kapten kapal yang masih disandera sudah dibebaskan perompak, namun belakangan dikabarkan sudah dibunuh. Mereka juga tidak mendapat asuransi sebagai mana yang diatur dalam surat perjanjian kerjasama ABK sebelumnya karena pihak asuransi menolak klaim itu.

Awalnya sembilan ABK ini direktrut oleh PT Surya Mitra Bahari melalui agency Jia Feng Yi Co LTD dipekerjakan sebagai ABK Taiwan berbendera China Jin Chun Tsai 68 (JCT). Pada 28 Maret tahun lalu, kapal itu dibajak oleh gerombolan perompak Somalia. Hampir setahun mereka hidup dibawah tekanan, serta  menjadi tameng bagi aksi pembajakan mereka. Selama dalam masa sandera tersebut, para ABK mengaku sangat depresi karena dibawah ancaman pistol, dikurung dalam kamar ukuran kecil, dan makan sehari sekali.

Oktiansyah, salah satu ABK mengatakan bahwa usahanya menghubungi KBRI di Taiwan, merasa tidak dindahkan. Itu yang paling membuatnya kecewa, terutama saat diberi kesempatan perompak Somalia menelpon di KJRI di Nairobi, justru pihak KJRI menyarankan seolah teman bisnis saja.Akhirnya ABK selamat karena pertolongan dari Angkatan Laut USA (NVY). Setelah lolos, mereka  diserahkan ke KBRI Muscat Oman.

Sekembali ke Indonesia, para ABK yang didampingi Pusat Bantuan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (PBHTKI) mengadukan masalah tersebut ke Direktorat WNI dan BHI Kemenlu, Kemenhub, BNP2TKI, dan Kemenakertrans.  Selain memperjuangkan hak-hak normatif mereka, PBHTKI juga berencana mempidanakan PT Surya Mitra Bahari atas dugaan praktek tindak pidana perdagangan orang (trackfiking). Selain itu, perusahaan itu dipidanakan karena tidak memiliki surat ijin pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (SIPPTKIS) termasuk dugaan penggelapan gaji ABK.(sus/faj)


Sumber: Era Baru News
URL: http://www.erabaru.net/top-news/39-news4/27029-pemerintah-diminta-perhatikan-nasib-abk

Jumat, 24 Juni 2011

Lolos dari Perompak Somalia, Gaji Setahun 9 ABK Raib

Tribunnews.com - Jumat, 24 Juni 2011 13:51 WIB

Lolos dari Perompak Somalia, Gaji Setahun 9 ABK Raib
Perompak Somalia
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rachmat Hidayat

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Bantuan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (PBHTKI) mendesak pemerintah untuk memperhatikan sembilan korban perampok Somalia. Alasannya, gaji setahun bekerja raib lantaran dipulangkan setelah kapal mereka dibajak perompak Somalia.

Ke sembilan ABK itu antara lain, Edi Supriyanto (28), Yasno (30), Octiansah (34), Amier Hidayat (37), Slamet Riyadi (29), Saparudin (23), Japar (27), Agretas Bertolomeos (37), dan Ahmad Yani (31).

"Ibarat sudah jatuh tertimpa tanggap pula. Mereka dipulangkan tanpa digaji selama 1 tahun bekerja dan asuransi sebagai mana diatur dalam surat perjanjian kerjasama ABK," kata Benhard Nababan, Ketua PBHTKI, usai beraudiensi dengan Komisi IX DPR, Jumat (24/06/2011).

Untuk diketahui, Pada 28 Maret tahun lalu, kapal tempat mereka bekerja dibajak gerombolan perompak Somalia. Beruntung, kapal perang Amerika USS Halyburton FFG 40 berhasil membebaskan mereka bersama empat warga lainnya. Setelah lolos, mereka pun diserahkan ke KBRI Muscat Oman. 

Dijelaskan, sekembali ke Indonesia, sembilan orang ABK ini pun mengadu ke Direktorat WNI dan BHI Kemenlu, Kemenhub, BNP2TKI, dan Kemenakertrans.

Bukan sekedar mengadu, sembilan ABK yang direktrut PT  Surya Mitra Bahari melalui agency Jia Feng Yi Co LTD pun kini menjadi bidikan.

"Kami berencana mempidanakan PT Surya Mitra Bahari atas dugaan praktek tindak pidana perdagangan orang. Selain itu, kami pidanakan karena tidak memiliki surat ijin pelaksana penempatan tenaga kerja. Termasuk, dugaan penggelapan gaji ABK," kata Benhard.

Penulis: Rachmat Hidayat  |   Editor: Ade Mayasanto
Akses Tribunnews.com lewat perangkat mobile anda melalui alamat m.tribunnews.com

Sumber: TRIBUNNEWS.COM
URL: http://www.tribunnews.com/2011/06/24/lolos-dari-perompak-somalia-gaji-setahun-9-abk-raib



ABK Korban Sandera Somalia Mengadu ke Komisi IX DPR

Komisi IX
24 Jun 2011 14:34
 
Senayan - Anak Buah Kapal (ABK) korban penyanderaan perompak Somalia selama setahun lebih akan menggelar pertemuan dengan Komisi IX DPR, Jumat (24/6). Mereka memasukkan surat permohonan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX, lantaran perusahaan tempat mereka bekerja tidak kooperatif dengan tuntutan pembayaran gaji yang belum dibayarkan.

Seperti diberitakan Jurnalparlemen, Kamis (19/5), 10 pelaut korban perompak Somalia ini sebelumnya mengadu ke anggota Komisi IX DPR Rieke Dyah Pitaloka. Mereka merasa ditipu dengan perusahaan tempat mereka bekerja dan disia-siakan pemerintah. Padahal, kesepuluh orang itu adalah korban perompak Somalia dan hidup dalam penyanderaan di bawah todongan senjata. Mereka ini dibebaskan tentara AS.

Pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (PBHTKI) Benhart Nababan mengatakan, RDP sebenarnya tidak perlu dilakukan bila PT Surya Mitra Bahari (PT SBM) bersedia membayarkan uang gaji hak pelaut yang sampai saat ini belum juga direalisasikan.

"Namun justru sebaliknya, “sampai saat ini PT SBM justru cenderung tidak mengakomodir keinginan pelaut”sampai saat ini PT SBM justru cenderung tidak mengakomodir keinginan pelaut yang notabene bekerja untuk perusahaan itu," kata Berhart.

Dari beberapa pembicaraan dengan PT SBM, kata Benhart, terkesan ada upaya mengulur-ulur waktu tanpa ada tenggat yang jelas. Kepada pelaut korban perompak itu, PT SBM meminta untuk menunggu sampai kapten kapal dibebaskan perompak. Tapi tidak jelas kapan hal itu akan terjadi.

Sementara nelayan dari berbagai daerah di Indonesia itu harus terus menghidupi keluarga. Justru itu yang saat ini diperjuangkan. Surat permohonan RDP itu ditujukan kepada Abdul Azis Suseno, anggota Komisi IX dari FPKS yang juga Ketua Kelompok Kerja Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Komisi IX.
 
Sumber: Jurnal Parlemen
URL: http://www.jurnalparlemen.com/news/2011/06/abk-korban-sandera-somalia-mengadu-ke-komisi-ix-dpr

Rabu, 08 Juni 2011

Indonesian sailors’ one-year ordeal

ID Nugroho, Contributor, Jakarta | Wed, 06/08/2011 7:00 AM
Octiansah and five of his peers were ready to take a rest in the crew room of Jin Chun Tsai, a Taiwanese fishing vessel, after their daylong shift.

Five other crewmen were about to take over for the night, when all of a sudden, a gunshot was heard. Before they knew it, the ship was being hijacked.

What happened on March 28, 2010 remains fresh in the minds of Octiansah and his nine fellow  seamen, who were held hostage for 12 months.

“Everything kept ringing in our ears,” recalled Saparudin, one of the 10 former Indonesian hostages.

It all began in 2008, when 10 fishermen from Central Java and East Nusa Tenggara applied for jobs as crew at PT Surya Mitra Bahari in Jakarta. Another, Nurdin from Banten, signed up with PT Wahana Samudera Indonesia. Both companies sent them to Taiwan to work with Jia Feng Yi Co Ltd, Taiwan. The 10 crew were Edi Suprayitno, Yasno, Octiansah, Amier Hidayat, Slamet Riyadi, Saparudin, Japar, Agretas Bartolomeod Sau, Ahmad Yani and Nuruddin.

In mid-September 2009, they set out aboard Jin Chun Tsai (JCT) 68 to Thailand, then on to other destinations. For five months, they worked under Captain Wu Lai Yu, alias Pina. The voyage continued on to Sri Lanka on Feb. 27, 2010, before they sailed to Somali waters to catch sharks.
Difficult times: Three of the Indonesian hostages — who were held captive for 12 months by Somali pirates and who were later freed — recount their ordeal, in Jakarta. JP/ID Nugroho 
Difficult times: Three of the Indonesian hostages — who were held captive 
for 12 months by Somali pirates and who were later freed — recount their 
ordeal, in Jakarta. JP/ID Nugroho

The tragedy started in the evening of March 28, 2010, when eight Somali pirates took over the ship. The gunshots were fired from AK-47 assault rifles. “We were worried, wondering what was going on as several strangers coming from nowhere emerged,” related Octiansah.

The random shots hit the vessel’s masts several times. Realizing they were under attack, the crew rushed to hide. The pirates held sway with no resistance from the captain and seamen. Nine other robbers climbed aboard the Taiwanese flag carrier. The ship was forced to sail to Somalia for five days and the crew were locked up in their rooms.

The days spent as hostages were anything but pleasant. The ex-fishermen’s boundless ocean was reduced to a 6x3-meter room. They were just allowed to go to the bathroom a few meters away. “We had to knock on the door before going there and when we did, the guard at the door cocked his AK-47, ready to shoot,” said crewman Edy Suprayitno.

Food and drinks were also limited. They were taken from JCT supplies, which only lasted for two months. When the food ran out, the robbers supplied low quality rice with fish from fishermen’s catch and some leftover spices. “The first two to three months were so dreadful. We felt threatened,” noted Octiansah.

But things changed after a while. The Indonesian sailors were allowed more freedom. They could take a walk on the deck. By the end of 2010, the hostages were asked to hijack another vessel.

One night, the ship moved into the open sea with 27 seamen including the 10 Indonesians. After sailing for several hours, the ship stopped and all lights were turned off. Some of them, with AK-47s, mortars and a 7-meter-long ladder, boarded speedboats and headed for a fishing vessel.

“It was like what had happened to our ship. The two speedboats chased the vessel, while the pirates fired shots,” added Octiansah. As soon as they reached the vessel, the ladder was hooked on it and they went up to the deck. When everything was secure, JCT was steered toward the side of the ship under control.

The third act of piracy waged by the Somalis along with Indonesian crewmen, however, didn’t run smoothly. The pirates attempted to control a crude palm oil (CPO) ship from China using the same tactics as when they hijacked the JCT. But this vessel had an automated system capable of closing doors from the inside. The pirates aboard the ship failed to secure control of the automated system, so the captain was able to report the attack to the Royal New Zealand Navy.

A naval helicopter soon arrived to the ship’s rescue. When the Navy asked the 15 pirates to surrender, they used the Indonesia sailors as a living shield. They threatened to kill the Indonesians unless they were freed. Luckily, the navy agreed to their demand and let them go, along with the 10 Indonesians.
Behind bars: Suspected Somali pirates captured by the British Navy in the Gulf of Aden stand in a cell in court in the Kenyan port city of Mombasa. Reuters/Joseph Okanga 
Behind bars: Suspected Somali pirates captured by the British Navy in the 
Gulf of Aden stand in a cell in court in the Kenyan port city of Mombasa. 
Reuters/Joseph Okanga

The Somali pirates had also successfully hijacked a Greek flag carrier, Irene SL. When the third act of piracy was thwarted, the 12-month hostage drama involving the 10 Indonesians ended. During the last operation in the Arab Sea, one pirate was killed and two others were severely wounded.

“At the time, the Somali pirates asked the US Navy’s USS Halyburton FFG 40 to provide medical treatment in exchange for freeing the 10 Indonesian and three Yemeni hostages. The swap went ahead in March 2011. Octiansah was taken to the Indonesian Embassy in Muscat, Oman.  “When we were on the US ship, we heard the news about the hijacking of MV Sinar Kudus,” he said.

Back in Indonesia, the 10 seamen last month visited PT Surya Mitra Bahari and PT Wahana Samudera Indonesia in Jakarta, asking for their 19-month salaries, equivalent to US$ 240 a month, which they never received.

The companies argued they had not yet received confirmation from their partner in Taiwan. “They said all the salaries would be paid when the captain of JCT, now still held hostage, is also freed,” said Octiansah. But there is no certainty over when this will happen.

The crew later sought the assistance of the Indonesian Workers’ Legal Aid Association (PBHTKI) to get the money they were owed. Benhart Nababan, Director of PBH TKI, said the legal position of the 10 sailors was strong enough. “We’ve reported the case to the Indonesian Workers’ Placement and Protection Agency (BNP2TKI) and the Foreign Office for their defense,” he added.

Furthermore, PBHTKI and the 10 seamen reported the matter to the House Commission IX and met with a Commission IX member from the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), Rieke Dyah Pitaloka. “Our sailors so far have not been regarded as Indonesian workers and never received training, let alone protection, which should be investigated,” she said.

The crew that was freed remain concerned over the fate of another hostage from Indonesia who hasn’t been rescued yet. The seaman from Jakarta works on the Blida ship. When he met with Octiansah and the other crew, he said he would soon be freed. “Hopefully he’s all right now,” said Octiansah.

Source: The Jakarta Post
Url: http://www.thejakartapost.com/news/2011/06/08/indonesian-sailors%E2%80%99-one-year-ordeal.html

Jumat, 20 Mei 2011

Rieke Minta Kasus Korban Perompak Diusut Tuntas

Peristiwa
20 May 2011 07:22
Senayan - Pelaut korban perompak Somalia yang saat ini masih terkatung-katung gajinya, adalah korban kejahatan ketenagakerjaan. Untuk itu, pihak berwenang di Indonesia, seperti Kementrian Tenaga Kerja (Kemenaker), BNP2TKI bahkan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) harus membantu mengusut tuntas hal ini hingga seluruh hak-hak pelaut itu terpenuhi.

Hal itu dikatakan Rieke usai menerima pengaduan resmi 10 pelaut Indonesia yang dirompak di Somalia, Kamis (19/5) sore. Menurut Rieke, nasib pelaut selama ini tidak dianggap sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Mereka tidak pernah mendapatkan pelatihan, apalagi perlindungan. "Dan ini jumlahnya mungkin bisa jauh lebih besar dari yang kita tahu," katanya.

Informasi yang didapatkan Rieke, selama ini, para pelaut itu dalam posisi yang dikalahkan. Dalam perjalanan kariernya sebagai buruh kapal, mereka sering mengalami ketidakadilan dengan tidak mendapatkan gaji penuh. "Bahkan ada yang dipotong sampai 75 persen di awal-awal dan itu terjadi sampai sekarang. Siapa yang akan melindungi mereka?" katanya.

Untuk itulah, Rieke mendukung langkah 10 pelaut yang akan menuntut perusahaan tempat mereka bekerja, PT Surya Mitra Bahari (SMB) yang dinilai menipu dengan tidak membayar gaji mereka. Tidak hanya itu, Rieke juga mendukung upaya pelaut korban perompak itu untuk menuntut secara hukum perusahaan asing yang terbukti ikut bertanggungjawab atas tidak dibayarnya gaji mereka.

Sampai saat ini, 10 pelaut korban perompak asal Jawa Tengah dan Jawa Barat itu masih bertahan di Jakarta, untuk mengadukan kasus mereka ke lembaga-lembaga terkait.

Reporter: Iman D. Nugroho | Penulis: Iman D. Nugroho | Editor: Yayat R. Cipasang

Sumber: Jurnal Parlemen
URL: http://www.jurnalparlemen.com/news/2011/06/rieke-minta-kasus-korban-perompak-diusut-tuntas

Kamis, 19 Mei 2011

10 Pelaut Korban Perompak Somalia Mengadu ke Rieke

Komisi IX
19 May 2011 19:28
Rieke Dya Pitaloka (blus putih) saat menerima 10 pelaut korban perompakan di ruang kerjanya. (JPI/IDN)
Senayan - Sebanyak 10 pelaut korban perompak Somalia, mengadu ke anggota Komisi IX DPR Rieke Dyah Pitaloka, Kamis (19/5) siang. Mereka merasa ditipu dengan perusahaan tempat mereka bekerja, dan disia-siakan pemerintah. Padahal, kesepuluh orang itu adalah korban perompak Somalia telah mendekam setahun dalam penyanderaan di bawah todongan senjata, dan sudah dibebaskan oleh tentara AS.

Kedatangan kesepuluh korban perompak Somalia itu dilakukan setelah mereka merasa nasib mereka terkatung-katung, sepulang ke Indonesia. Perusahaan tempat mereka bekerja, PT. Surya Mitra Bahari  (SMB) di Jakarta, tidak bersedia membayar gaji 19 bulan milik mereka hasil kerja sebagai pelaut. "Mereka hanya berjanji saja, sampai saat ini belum ditepati tanpa ada kejelasan," kata Octiansah Bin Hadi Sumitro, salah satu pelaut saat menemui Rieke di ruang kerjanya di lantai 7, gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan.

Kisah sedih para pelaut ini berawal di tahun 2008, ketika mereka mendaftar di perusahaan pengerah tenaga kerja yang khusus bekerja sebagai pelaut itu. Mereka ditempatkan ditempatkan di Taiwan dan menjadi pelaut di kapal Jin Chun Tsai, milik perusahaan rekanan PT. SMB. Bersama kapten kapan Whulai Yu alias Pina, mereka berlayar untuk mencari ikan.

Beberapa bulan berlayar di laut, kapal mereka didatangi perompak. Kapal pun dikuasai. Maka sejak 28 Maret 2010, kapal berbendera Taiwan dengan 10 awak kapal itu pun berada dalam kendali perompak. Setelah berhasil diselamatkan oleh tentara AS, setahun kemudian, kesepuluh pelaut Indonesia itu berhasil kembali ke Indonesia. "Lalu kami menghubungi kantor PT. SMB, untuk menagih janji, namun justru mereka terus berkelit," kata Octiansah.

Didampingi Pusat Bantuan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (PBHTKI), Benhard Nababan, kesepuluh orang itu melaporkan kasusnya ke BNP2TKI.

Sumber: Jurnal Parlemen
URL: http://www.jurnalparlemen.com/news/2011/06/10-pelaut-korban-perompak-somalia-mengadu-ke-rieke

Selasa, 22 Februari 2011

Klaim Asuransi TKI Masih Lambat dan Bertele-tele

E-mail Print PDF
kedaiberita.com - Upaya pemerintah untuk memperbaiki sistem Asuransi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17/2010 kembali dipertanyakan oleh sejumlah pemerhati dan pelindung TKI.

Pasalnya perbaikan asuransi TKI yang katanya dipermudah dan tidak lagi bertele-tele, nyatanya tidak ada bedanya dengan yang lama. Hal ini dikatakan Bobi Alwi selaku Koordinator Camp Migrant dan Benhard Nababan selaku Direktur Eksekutif Pusat Bantuan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (PBHTKI).

Bobi mengatakan, klaim asuransi perlindungan TKI tidak ada bedanya dengan yang lama.

“Klaim pengurusan asuransi TKI masih seperti yang dulu,” cetus Bobi saat dimintai keterangan kedaiberita.com, Selasa (22/02/11) pukul 13.45 WIB.

Menurut Bobi, seharusnya kartu peserta asuransi (KPA) dipegang oleh TKI dan tidak usah ada rekomendasi dari PJTKI untuk klaim serta pembayaran langsung di GPK TKI.

Sementara itu Direktur Eksekutif PBHTKI, Benhard Nababan mengatakan, upaya perbaikan terhadap asuransi TKI terhambat karena masih adanya mafia didalam Konsorsium Asuransi.

Benhard meminta, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, mengevaluasi kembali Permen 17/2010, karena menurutnya masih banyak keluhan terkait klaim asuransi TKI.

“Sudah banyak keluhan, Menakertrans harus mengevaluasi Permen 17/2010”. Pinta Benhard.

Benhard pun mendorong pemerintah segera membentuk Satgas Anti Mafia TKI yang melibatkan serikat buruh migran dan organisasi peduli TKI.

“Menakertrans seharusnya membentuk Satgas Anti Mafia TKI, Jika tidak janji-janji untuk melindungi TKI hanya omong kosong saja,” ujarnya.

Sedangkan menurut Sekretaris Jendral Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia Sucipto, kesalahan ada di pemerintah dalam hal ini Menakertrans.

"kesalahan ada Menakertrans," cetus Cipto.

Sumber: KedaiBerita.Com
Url: http://kedaiberita.com/Hukum/klaim-asuransi-tki-masih-lambat-dan-bertele-tele.html